Entri Populer

Selasa, 18 Oktober 2011

mancak

sebuah kecamatan yang masuk wilayah Kabupaten Serang. Sebuah daerah yang subur dan banyak menghasilkan berbagai macam buah-buahan dan sayur-sayuran. Mancak yang identik dengan duren (durian). Sering di sebut kampung Duren, karena Mancak tempat penghasil buah durian. Ribuan pohon durian berjejer di setiap perkampungan/kampung yang memiliki alas-alas ( istilah orang Mancak; kebun).
Saat musim panen durian, Mancak banyak dikunjungi para pelesir yang hobi makan durian dibawah pohonnya, atau beli di pohon, sambil menunggu jatuh dari pohonnya. Sepanjang jalan seperti di kampung Kemang, Cipeucang dan Belokang. Pohon duren berjajar di sepanjang jalan. Musim durian tahun ini sangat memuaskan.
Bukan hanya durian saja, di alas ditanami berbagai macam pohon yang buahnya memiliki nilai jual yang cukup bagus, seperti; pohon petai, jengkol, malinjo, rambutan, dukuh, pucung, nangka, pisang, papaya, singkong, dan pohon-pohon lainnya.
Hari minggu pagi aku jalan-jalan menghirup udara segar. Honda Beat, ku pacu melewati pasar Mancak yang ramaynya hari senin dan kamis pagi, sorenya sudah kembali sepi, tidak seperti pasar-pasar di kota yang selalu ramai dari pagi sampai sore, misalnya; pasar Rawu. Kemudian aku melewati kantor camat Mancak dan mulai memasuki daerah yang berbukit-bukit. Disepanjang perjalanan kutemui segerombolan ibu-ibu menertawakanku. “ Datang ketempat sepi begini ko sendirian, lagi nyari yah?!”. Kudengar bisikan kepada ibu-ibu yang lainnya. Ibu-ibu yang bisa ngerupi di warung-warung perempatan jalan. Ah dasar ibu-ibu kurang kerjaan!.
Jalan-jalan di kampung Mancak, terutama di temapat Wisata Rawa Danau Panejoan, idealnya kita harus membawa kendaraan sendiri, sebab kita bisa kerepotan karena tidak ada angkutan umum yang melewati daerah tersebut, angkutan umum yang ada hanya miliki rute, jika kita dari arah cilegon, melewati stasiun Kerenceng, masuk daerah Mancak melewati pasar Mancak, kantor kepolisi, kantor camat Mancak atau terahir tujuan yaitu; kampung Kubang perapatan. Hawa sejuk di pegunungan di saat musim durian. Sepanjang jalan yang ku lewati, ribuan pohon kejar-kejaran. Pohon rambutan, jengkol, pete, malinjo dan pohon pisang.
Saat memesuki perkampungan, ibu-ibu sedang meusek buah malinjo atau tangkil merah yang matang. Dibeberapa ada bunyi-bunyian khas yang kompak dan beraturan. suara tak-tok, tak-tok, suara serempak orang yang memukul kayu, hampir bebarengan, sejak pagi suaranya seperti berirama yang kejar-kejaran.
Di gubug-gubug belakang rumah, buruh pembuat emping berkeringat dangan semangat dan serius. Disampingnya bayi yang masih merah dibedong di ayunan, tanpa terusik dengan suara yang memekakan telinganya. Kulihat bayi itu tidur nyenak, mukin sudah terbiasa. KakaKnya berumur 6 tahun, sedang mengupas tangkil-tangkil yang panas, langsung diambil dari kuali panas yang diberi pasir di atas tungku, kepul asapnya membuat mata pedih.
“ Bapaknya mana neng?” Aku ikut mengambil tangkil dari pasir panas di atas tungku.
“ya ampun panas benar!” Aku hampir berteriak sambil melempar tangkil yang terlanjur ku pegang. Aku jadi teringat waktu kecil dulu, akupun sering menemani tetanggaku membuat emping, kadang membantu menjemurnya, pernah mencoba menggunakan palu besar untuk membuat emping, hanya beberapa pukulan saja tanganku sudah jemper, mungkin karena belum terbiasa. Bisa bayangkan, sehari mencapai 5 liter atau 6 liter tangkil yang terkumpul. Masya Allah capeknya!. Tapi bayarnya? Satu liter tangkil dihargai dua ribu rupiah. Mulai dari pagi hingga sore mereka bisa mengumpulkan 5 liter. Lima dikalikan dua ribu rupiah jadi sepuluh ribu rupiah.
Di kampung sebelah,di rumah nde jaya aku menemani ngobrol sambil menuang air nira dari bumbung bambu ke kuali besi yang berukuran cukup besar. Nde Jaya dengan keringat mengucur, tanpa mengenakan baju, hanya memakai celana pangsi hitam yang lusu dan tambalan. Kulitnya hitam terbakar, tapi senyumnya lebar walau pun tubuhnya kurus dan tenaganya tidak di ragukan lagi, setiap hari naik turun berpuluh-puluh pohon kelapa, siang terik, ia mencangkul dan mengelolah sawahnya untuk baiya hidup dan menyekolakan lima anaknya..

Tidak ada komentar: